Partai Komunis Cina dan Pengaruhnya dalam Sepakbola Eropa

Ultra Voetbal
6 min readAug 1, 2021

Teks dan Ilustrasi oleh Andi Basro

Cina punya rencana besar untuk tahun 2050, dengan visi untuk menyelesaikan pembangunan kesejahteraan masyarakat dalam segala aspek. Dalam pidato Xi Jinping saat perayaan 100 tahun Partai Komunis Cina (CCP), dia menekankan perwujudan negara sosialis yang kuat, modern, harmonis, indah, dan “demokratis”. Untuk mencapai target tersebut, Cina berupaya mengekspansi pengaruh mereka ke seluruh dunia dalam berbagai sektor. Dari segi militer, Blue Water Navy menjadi prioritas, dimana Cina memperkuat keamanan nasional dengan meningkatkan kapabilitas Angkatan Laut mereka di laut pasifik, sekaligus untuk menggertak Amerika Serikat.

Di sisi lain, Cina mengekspansi pengaruhnya lewat investasi. Mengadopsi terminologi Deng Xiaoping “Black cat or white cat, if it can catch mice, it’s a good cat.” , yang berarti, selama negara(yang akan berbisnis dengan Cina) menguntungkan kepentingan nasional Cina, ideologi tidak relevan. Walau menuai banyak kontroversi, prinsip itu terbukti sukses, contoh: kemajuan yang dialami negara-negara Afrika diberkati oleh investasi Cina. Jargon tersebut juga berhasil menginfiltrasi dunia sepakbola, terutama di Eropa.

Pemerintah Cina menerapkan strategi bread and games/circuses yang diimplementasikan kekaisaran Roma dahulu, memperluas pengaruh mereka ke negara lain melalui bantuan pangan, olahraga, dan hiburan. Diawali dengan Perusahaan dan pengusaha berbondong-bondong membeli saham klub-klub Eropa. Salah dua investasi terbesar di Eropa adalah raksasa Italia, Inter Milan dan AC Milan. Hal tersebut tak mengejutkan karena UEFA melaporkan bahwa investasi terbesar ke klub Eropa pada tahun 2015 datang dari Cina. AC Milan dibeli oleh Yonghong Li, Pemilik Rossoneri Sport Investment Lux, dan Inter dibeli oleh Suning Holdings Group. Derby Della Madonnina (Inter Milan vs AC Milan) yang secara sarkas dijuluki “The Chinese Derby” menggambarkan signifikansi suntikan dana dari Cina. Investor Cina juga memperluas investasi mereka di Liga Inggris dan La Liga, membeli saham Manchester City, Atletico Madrid, Aston Villa, dan West Bromwich Albion.

Hak siar televisi Eropa juga menggiurkan untuk investor Cina. Walaupun mayoritas hak siar masih didominasi oleh Liga Inggris, liga lain pun berupaya memuaskan pasar di Cina. Contoh: Untuk mempromosikan Serie A, derby antara AC Milan dan Inter Milan disiarkan jam 12.30 waktu lokal, karena jam tersebut adalah waktu prime time di Cina. Cara lain untuk mencelup dalam pasar Eropa bisa dicapai melalui sponsor. Yang menarik, sponsor Euro 2020 mengikutsertakan Tiktok. Banyak orang yang tidak tahu bahwa Tiktok adalah perusahaan Cina, untuk penduduk di dalam perbatasan Cina, bernama Douyin.

Seperti yang dijelaskan di awal, penanaman modal termasuk dalam rencana besar pemerintah Cina. Baik itu melalui penanaman modal perusahaan, hak siar maupun sponsor. Semua perusahaan Cina di kontrol oleh pemerintah. Xi Jinping tidak peduli dengan kekayaan seorang individu, atau seberapa sukses perusahaan anda. Jika dia tidak suka dengan sesuatu maka perintahnya harus diikuti, kalau tidak, konsekuensinya tidak akan ringan. Kita bisa ambil contoh dari kasus Jack Ma, salah satu orang terkaya di dunia, terpaksa pensiun karena satu kalimat yang dianggap “mengkritik pemerintah”. Jika Presiden Xi bisa melakukan itu ke Jack Ma, maka dia bisa melakukan itu ke siapapun.

Bullying yang dilakukan oleh Partai Komunis Cina juga terjadi dalam dunia sepakbola, oleh karena itu menimbulkan banyak masalah. Para pemimpin memerintahkan investasi luar negeri harus dikembalikan ke Cina dan fokus kepada pasar domestik. Pemerintah Cina merasa klub-klub Eropa tidak membalas balik keuntungan yang diberikan oleh investor Cina. Pada tahun 2017, 20 klub Eropa yang dimiliki oleh Investor Cina, menurun jadi hanya 10. Yang pertama cabut saham adalah Wang Jianlin, menjual kembali sahamnya di Atletico Madrid. Tak lama kemudian, Ye Jianming dipaksa menjual Slavia Praha. Ye Jianming sekarang dimasukan penjara dengan alasan aktivitas ekonomi.

Dari perpindahan fokus pemerintah Cina, Inter Milan menjadi klub yang merasakan dampak paling besar. Efek domino diawali dengan pencabutan lisensi Lisensi Jiangsu Suning (klub yang dimiliki oleh Presiden Inter Milan, Steven Zhang) setelah baru saja juara liga. Kejadian tersebut menambahkan tekanan untuk Inter Milan dan Steven Zhang secara finansial. Sebab pemain-pemain bintang Inter telah direncanakan untuk dijual, membuat pelatih mereka harus meninggalkan klub karena visinya tidak sejalan dengan rencana itu. Sekarang, Steven Zhang dirumorkan akan menjual Inter Milan. La Repubblica melaporkan, bulan Januari lalu, Suning sedang bernegosiasi dengan BC Partners, firma investasi yang berbasis di London, untuk mencari pendukung finansial. Keadaan yang sangat disayangkan setelah menjadi juara Serie A.

Partai Komunis Cina mengimplementasikan strategi yang lebih halus terkait sponsorship Tik Tok di Euro 2020. Harus diingat lagi bahwa pemerintah Cina memiliki pengaruh besar dalam aktivitas perusahaan yang berbasis dalam negaranya, termasuk Tik Tok. Tik Tok adalah platform sosial media yang berada di bawah perusahaan induk Cina bernama ByteDance. Presiden ByteDance, Zhang Yiming, adalah anggota Partai Komunis Cina, dia seringkali dituduh oleh Donald Trump sebagai sebagai juru bicara partai dan memiliki hubungan erat otoritas pemerintah. Trump bahkan mengajukan kebijakan untuk ban Tik Tok di Amerika Serikat. Harus diakui bahwa pernyataan tidak semata-mata omong kosong. Zhang Yiming secara terbuka pernah menyatakan bahwa dia berkomitmen mempromosikan agenda Partai Komunis Cina. Upaya Zhang dimanifestasikan dalam kampanye propaganda CCP yang sangat marak di Tiktok.

Objektif dari propaganda CCP di Tik Tok tak jauh-jauh dari menutup dosa pemerintah atau mempromosikan Cina sebagai bangsa yang superior. Isu yang diangkat biasanya, membuktikan kalau tidak ada genosida di Xinjiang, membantah tuduhan Covid-19 berasal dari Cina dan kampanye nasionalis secara umum. Untuk yang lebih ringan, mereka coba memperlihatkan betapa bagus, bersih dan majunya Cina menggunakan video-video lucu atau travel. Yang membuat ini semua lebih mencurigakan adalah, masyarakat Cina dilarang memakai Tik Tok, mereka harus memakai Tik Tok versi lokal, Douyin. Jadi harus dipertanyakan bagaimana orang-orang yang membuat video-video ini mendapatkan akses menggunakan Tik Tok? Semakin jelas bahwa propaganda yang diunggah ditargetkan untuk audiens di luar Cina.

CCP melakukan ini semua dengan memberdayakan Wu Mao atau 50 Cent Army. Mereka ditugaskan mempromosikan Cina sekaligus manipulasi opini publik agar citra pemerintah Cina tetap terjaga. Baik itu lewat debat di seksi komen maupun melalui karya, dan mereka bekerja dalam semua medium sosial media, tak hanya Tik Tok, seperti buzzer di Indonesia. Jadi hanya mereka yang diperbolehkan memakai sosial media yang telah di blok Cina, itupun harus ada job description.

Kembali ke sepakbola, sponsorship Tik Tok di Euro 2020 otomatis akan membuat lebih banyak orang yang menggunakan aplikasi tersebut. Semakin banyak yang memakai Tik Tok, semakin banyak orang yang bisa melihat propaganda CCP. Karena itu, walau investasi sepakbola secara langsung mulai banyak yang dicabut, Cina tetap bisa menyebarluaskan pengaruh mereka dengan cara lain.

Pekerja TikTok dan anggota CCP mengibarkan bendera Komunis di kantor ByteDance. (Taiwan News)

Menurut ahli ekonomi olahraga Simon Chadwick, Cina sedang memamerkan ‘otot’ mereka untuk mengubah balance of power antara liga-liga Eropa dan Cina. Ketidakseimbangan balance of power terlihat ketika Mesut Ozil mengkritik pemerintah Cina terkait persekusi etnis Uighur di Xinjiang. Komen Ozil kurang lebih tentang penutupan masjid, pembakaran Al Quran dan pembunuhan ulama, memicu kemarahan di Cina. Channel TV negri Cina memutuskan untuk tidak menyiarkan pertandingan antara Arsenal dan Manchester City sebagai protes. Alhasil Ozil dicoret dari daftar pemain Liga Primer Inggris, memperlihatkan liga tunduk pada rezim otoriter.

Pencoretan Ozil dari skuad juga menunjukan kemunafikan liga Inggris, yang selalu menjunjung tinggi motto “say no to racism” didampingi dengan pernyataan politis taking the knee setiap sebelum pertandingan dimulai. Mengapa berlutut sebagai tanda anti-rasisme boleh, tapi mencela rezim yang berupaya melakukan pembantaian etnis tidak boleh? Bukannya apa yang dilakukan pemerintah Cina di Xinjiang bentuk rasisme juga? Keliatan liga mementingkan uang sekaligus menutupi kejahatan yang dilakukan CCP. Situasi ini mengkhawatirkan sekali karena negara-negara Eropa sering menekankan bahwa, kejadian seperti Holocaust tidak akan terulang lagi dengan jargon “never again”. Well I hate to break it to you, but……. It’s happening again, tapi institusi sepakbola memilih untuk menutup mata, kuping dan mulut.

Kontrol yang dimiliki Partai Komunis Cina dalam sepakbola Eropa merefleksikan gambaran yang lebih besar, baik dalam ranah olahraga, hiburan, bisnis maupun hubungan internasional. Cina memiliki rencana menjadi superpower dunia dengan rekam jejak yang tidak etis. Jika institusi-institusi dunia terus-menerus tunduk dan mengikuti maunya Cina, ada kemungkinan besar landskap dunia tigapuluh tahun kedepan akan sangat berbeda.

--

--

Ultra Voetbal

Membahas segalanya, berbicara seenaknya #UltraVoetbal